Pemandangan butir padi keemasan terhampar disepanjang jalan rice area di desa Patuanan. Kemuning bulir padi tersebut tersamar kepulan asap dari timbunan jerami yang terbakar. Burung pipit, manyar dan gereja bersiul merdu menandakan bahwa musim panen telah tiba. Setiap musim panen tiba warga desa yang berprofesi sebagai petani mulai sibuk dengan job description-nya.
Disudut pematang sawah kedung gentong nampak jerami dibiarkan menggunung dan menjadi wahana bermain bocah. Gelak tawa dan tingkah polah sang bocah berkulit legam menambah nilai kebahagiaan kaum tani disaat musim panen menyapa. Di bagian tengah sawah nampak kerumunan kaum ibu terlihat khusu memotong tangkai bulir padi dengan menggunakan ani-ani (pisau kecil).
Metode ani-ani mungkin sudah usang dan perlahan ditinggalkan. Seni gapret untuk merontokan padi juga mulai tergerus dan tergantikan musim semi modernisasi. Suara mesin perontok padi bergemuruh sepanjang musim panen tiba, kerja petani lebih terbantu dan hasilnya pun cukup lumayan.
Gabah yang terkumpul di terpal (amparan), kemudian di packing dengan menggunakan karung. Kemudian karung-karung tersebut dipanggul oleh kaum bapak dengan menyusuri tanah liat yang mampu merendam kaki yang tak beralas.
Kaum bapak yang bertelanjang dada, menggunakan alat transportasi berupa pedati sebagai sarana untuk memindahkan gabah ke lumbung mereka di rumah. Ikhtiar kaum tani dari mengolah tanah, menanam bibit, menyiangi dan memupuk mulai terbalas hari ini. Berkarung-karung gabah mampu mereka bopong untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari.
Matahari mulai tegak berdiri. Tukang tani berhenti sejenak untuk beteduh dari teriknya matahari. Banyu putih yang diteguk dengan perlahan, sembari mengipas-ngipaskan cotom ketubuhnya yang bersandar di tiang. Alhamdulillah...tanda syukurpun mereka lantunkan.
Time out di gubuk jerami, mereka gunakan untuk melenturkan otot-otot yang sudah bekerja keras, sebagian lagi mulai duduk bersila untuk memenuhi undangan perutnya yang sudah keroncongan.
Ketika para petani sedang melahap nasi putih hasil tani sendiri dan mencompot lalapan yang berlumur sambal tarasi. Izinkan saya untuk mohon diri ya pamiarsa. Itulah sajian aksara tentang nuansa musim panen di desa saya, terima kasih sudah membaca karya sederhana dihadapan sedulur sedaya, sampai jumpa lagi dengan karya-karya selanjutnya, Wassalam.
Baca Juga : Budaya Poskamling dan Ronda, Extra Income Halalan Thoyiban, Dalam Narasi dan Deskripsi
Kaum bapak yang bertelanjang dada, menggunakan alat transportasi berupa pedati sebagai sarana untuk memindahkan gabah ke lumbung mereka di rumah. Ikhtiar kaum tani dari mengolah tanah, menanam bibit, menyiangi dan memupuk mulai terbalas hari ini. Berkarung-karung gabah mampu mereka bopong untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari.
Matahari mulai tegak berdiri. Tukang tani berhenti sejenak untuk beteduh dari teriknya matahari. Banyu putih yang diteguk dengan perlahan, sembari mengipas-ngipaskan cotom ketubuhnya yang bersandar di tiang. Alhamdulillah...tanda syukurpun mereka lantunkan.
Time out di gubuk jerami, mereka gunakan untuk melenturkan otot-otot yang sudah bekerja keras, sebagian lagi mulai duduk bersila untuk memenuhi undangan perutnya yang sudah keroncongan.
Ketika para petani sedang melahap nasi putih hasil tani sendiri dan mencompot lalapan yang berlumur sambal tarasi. Izinkan saya untuk mohon diri ya pamiarsa. Itulah sajian aksara tentang nuansa musim panen di desa saya, terima kasih sudah membaca karya sederhana dihadapan sedulur sedaya, sampai jumpa lagi dengan karya-karya selanjutnya, Wassalam.
Baca Juga : Budaya Poskamling dan Ronda, Extra Income Halalan Thoyiban, Dalam Narasi dan Deskripsi